Seri Filsafat Periode Socrates

Buku ini merupakan salah satu rangkaian dari seri filsafat yang ditulis oleh Frederick Charles Copleston dan diterjemahkan oleh penerbit Basabasi. Kalau nggak salah ada 20 buku, jadi saya pikir boleh juga nih kalau tiap bulan baca 1 seri.

Nah, tentunya saya membaca urut dari no 1, yang diawali oleh Periode Socrates. Covernya berwarna ungu dengan ilustrasi wajah Socrates, lalu di bagian bawah terdapat kutipan terkenal dari Socrates, “Orang bijak adalah ia yang mengerti bahwa dirinya tidak tahu apa-apa.”

Pada periode Socrates, kehidupan politik Yunani sedang berkembang, rakyat Yunani dibebaskan jika ingin terjun ke dalam politik sehingga banyak dari mereka yang mengikuti semacam pendidikan. Namun lama-lama pendidikan dengan cara lama tidak mampu memenuhi tuntutan demokrasi yang sedang berkembang.

Lalu muncullah kaum Sofis. Mereka adalah profesor keliling yang berjalan dari kota ke kota, mengumpulkan banyak pengetahuan dan pengalaman berharga. Mereka berhasil memikat para pemuda yang antusias tentang berbagai hal, seperti tata bahasa, penafsiran penyair, filsafat mitologi dan seni retorika. Namun ajaran mereka perlahan-lahan merusak tradisi dan kepercayaan religi, yang membuat penganut tradisi lama memandang kaum Sofis dengan penuh curiga.

Kaum Sofis sebetulnya rada nanggung, mereka tidak memberikan hal yang benar-benar baru dan stabil sebagai pengganti keyakinan lama. Bahkan banyak dari mereka bicara dan menulis demi menerima upah dan keuntungan semata, bukan dasar ingin membantu.

Di dalam buku ini disebutkan beberapa Sofis, yaitu Protagoras, yang didakwa melakukan penistaan karena bukunya tentang dewa. Lalu ada Prodicus yang berpandangan bahwa penyembah agama berlebihan. Selain itu ada Hippias, yang membuat daftar pemenang Olimpiade menjadi dasar sistem penanggalan Yunani. Dan yang terakhir ada Gorgias, yang memperkenalkan seni sugesti untuk tujuan praktis, baik ataupun buruk.

Socrates yang mempelajari teori kosmologi Timur dan Barat di usia 20-an, mengalami kebingungan dan tidak sepakat dengan berbagai teori kaum Sofis.

Sempat Socrates mendapatkan pencerahan dari Anaxagoras yang berbicara tentang pikiran sebagai penyebab dari semua hukum dan tatanan alam. Lalu ia pun berharap pikiran lambat laun bisa menjelaskan kerja alam semesta, namun setelah lama tidak membuahkan hasil, Socrates kecewa dan meninggalkan filsafat alam.

Masalah Socrates adalah memastikan apa tepatnya ajaran filosofisnya. Sampai akhirnya ia memperkenalkan filsafat manusia dan menemukan metode praktis, yaitu mengambil bentuk “dialektika” atau percakapan. Ia akan berbincang dengan seseorang, mengajukan pertanyaan, membiarkan orang lain mendominasi pembicaraan, tapi tetap menjaga pembicaraan di bawah kendalinya.

Dialektika ini tentu agak menjengkelkan, bahkan membingungkan atau memalukan bagi mereka yang ketidaktahuannya terekspos atau kejanggalannya dihancurkan. Namun tujuan Socrates untuk menemukan kebenaran demi kehidupan yang baik.

Socrates bukan sekedar ahli logika. Ketika ia mengkritik dan mengekspos pandangan dangkal dan asumsi tanpa pertimbangan, bukan berarti ia memamerkan kecerdasan dialektik superiornya, tapi ia mendorong lawan bicaranya untuk merenungkan diri mereka sendiri, sampai timbul pemikiran penting dalam merawat jiwa mereka.

Bagi Socrates, ini adalah misi hidup, tugas untuk membuat manusia menjaga kemuliaan yang dimilikinya.

Pemikiran Socrates mempengaruhi muridnya yaitu Plato dan kemudian ke Aristoteles yang merupakan murid Plato. Setelah Socrates dihukum mati, muncullah beberapa “Mazhab Socratik Minor”. Sebetulnya Socrates tidak mendirikan mazhab tertentu, ia tak mengumpulkan murid-muridnya untuk mendapat warisan doktrin tertentu. Namun ternyata banyak pemikir Athena yang melanjutkan teorinya sampai ke dunia Barat.

Buku tipis dengan 103 halaman, saya baca lumayan cepat. Terjemahannya juga enak, tampaknya ditulis sesederhana mungkin dengan pemilihan kosakata yang mudah dimengerti. Ada beberapa typo, namun buat saya nggak terlalu mengganggu.

Leave a comment