Senja dan Cinta yang Berdarah

Huwaah, lega! Akhirnya selesai baca kumpulan novel yang tebel banget. 816 halaman, pemirsa! Kebayang nggak betapa tebalnya buku ini. Ada 85 cerpen. Buku ini tergeletak dalam keadaan terbuka selama berbulan-bulan. Saya membacanya perlahan sembari ngopi di pagi hari. Untungnya ukuran tulisannya lumayan besar, enak dibaca tanpa kacamata, jadi nggak bikin males duluan.

Berhubung cerpen-cerpen ini pernah dimuat di media cetak, maka ilustrasi dari media tersebut juga disertakan di buku. Ini surprise banget. Saya akhirnya tahu ilustrasi cerpen surat kabar tahun 80 s/d 90-an. Seperti SN Rahardjo, Ipong Purnamasidhi, Setianto Riyadi, dst. Favorit saya, beberapa ilustrasi buatan GM Sudarta.

Nggak hanya ilustrasi, di dalam cerpen “Matinya Seorang Penari Telanjang” juga disisipkan beberapa jepretan foto dengan model Lola Amaria. Foto tersebut dibikin semacam plesetan sampul majalah “TEMPE”, “Femince”, “Kempes”, dst. Ngakak.

Ada lagi kejutan dalam buku ini. Terdapat Panil komik pada cerita “Panji Tengkorak Menyeret Peti” dan “Partai Pengemis” karya Hans Jaladara.

Kebayang nggak sih, buku ini komplit banget dan jadi istimewa dengan disertakannya karya-karya orang lain, yang membuat cerpen-cerpennya jadi lebih hidup.

Beberapa cerpennya sudah pernah saya baca di buku yang lain, namun saat membaca ulang dengan ilustrasi yang memikat, ada kenikmatan tersendiri.

Nggak heran kalau Seno mencantumkan, ”Nasib adalah kesunyian masing-masing” ~ Chairil Anwar, sebagai quote di halaman awal. Kisah-kisah dalam buku ini menceritakan segala macam kehidupan manusia dengan nasib yang menyertainya.

Buat saya, buku ini adalah harta karun yang berharga.

Kisah Aneh Benjamin Button

Buku yang saya dapatkan sebagai bonus ini merupakan cetakan 1 penerbit KATTA, 2010. Thanks to Ayobukku – Tokped. Jadi kenal sama tulisannya F Scott Fitzgerald deh.

Kisah Benjamin Button ini pernah difilmkan, namun seinget saya dulu nontonnya ga kelar karena dvd bajakannya nyandet-nyandet.

Bukunya tipis 89 halaman. Eh, tapi ternyata ada bonus 3 cerita pendek. Yayy! Dua hari kelar bacanya.

Kisah Aneh Benjamin Button
Cerita berawal dengan kelahiran bayi, anak pertama dari Roger Button. Betapa terkejutnya ia saat melihat bayi tersebut. Wajah dan tubuhnya tua seperti kakek berusia 70 tahun.

Namun Roger Button sangat menyayanginya dan berupaya supaya anaknya tetap percaya diri. Ujian cemooh yang dilalui Benjamin Button saat sekolah TK sampai SMA membuatnya sedih, namun ia menyadari bahwa tubuhnya terus bertumbuh menjadi muda.

Sampai saat ia berusia 25 tahun, tubuh dan wajahnya seperti pria berusia 50 tahun. Wajah tampannya semakin mempesona, kharismanya memancar dan ia mulai jatuh cinta.

Di awal paragraf saya rada bete dengan terjemahan yang bikin mumet. Namun cerita Fitzgerald mampu menyelamatkan saya untuk tetap baca saking serunya. Ide ceritanya bagus, kok bisa ya terpikir nulis cerita seperti ini. Belum lagi plot twistnya dikit-dikit dimunculin yang bikin saya ga bisa berhenti baca.

Jemina
Keluarga Jemina sudah lama bermusuhan dengan keluarga Doldrum.

Suatu hari ketika ayah Jemima kedatangan tamu asing untuk mengajaknya kerja sama, rumahnya diserang oleh keluarga Doldrum. Sungguh momen yang tidak tepat untuk berbincang masalah bisnis.

Ayah Jemina menyuruh tamu asing untuk segera keluar menyelamatkan diri, namun dia menolak. Justru dia harus tetap bertahan di rumah tersebut supaya penyerangan dihentikan Doldrum.

Tuan Icky
Ini sepertinya ditulis sebagai naskah drama. Bercerita tentang kegelisahan Tuan Icky yang ditinggal anaknya satu demi satu.

Tiap kali ada anaknya yang akan keluar rumah dan pindah ke tempat yang jauh, ia berusaha mencegahnya, namun tak punya alasan kuat untuk menahannya.

Satu demi satu pun mereka pergi dari rumah. Begitulah, sampai akhirnya Tuan Icky hanya tinggal berdua dengan istrinya.

Porselin dan Merah Muda
Entah kenapa judulnya begini. Merupakan naskah drama juga nih. Berkisah tentang Julie, seorang wanita yang sedang asyik berendam di bath tub, lalu seorang pria menerobos masuk karena tidak tahu jika ada yang sedang menggunakan kamar mandi. Namun toh akhirnya mereka ngobrol di kamar mandi.

Seusai Lois keluar dari kamar mandi, masuklah seorang pria lain yang ingin menggunakan kamar mandi, karena Julie belum selesai, sambil menanti Julie selesai, ia mengajaknya bercakap-cakap.

Hah? Apaan sih? Mandi kok banyak amat yang ganggu haha. Endingnya, ya tentu saja si wanita mentas dari bath tubnya. Lalu layar diturunkan.

Atheis

Sebagai generasi muda terkadang saya menganggap generasi tua rada lebay dengan ketakutan mereka pada ideologi komunis yang tidak mengenal agama.

Buku lawas yang dicetak tahun 1949, 4 tahun setelah kemerdekaan Indonesia ini ternyata bagus dan membantu saya memahami situasi jaman orde lama, dimana pada saat itu masih banyak orang yang atheis. Banyak dialog teologis dan politik yang membuat saya mendapat gambaran mengapa banyak paham-paham baru kala itu.

Awalnya judul yang singkat membuat saya berpikir buku ini berat. Ternyata ini buku roman namun nuansanya lumayan gelap.

Cerita dibuka oleh tangisan Kartini yang ditinggal mati oleh Hasan, suaminya. Beberapa bulan sebelum meninggal, Hasan memberikan setumpuk kertas kepada tokoh ‘saya’. Isinya semacam otobiografi tentang kegelisahan dan pemikiran Hasan. Mungkin lebih tepatnya semacam buku harian.

Lalu bergulirlah cerita berdasarkan naskah tersebut.

Ketika Hasan diterima kerja dan tinggal di Bandung dia bertemu dengan Rusli, teman sebayanya saat masih tinggal di Tasik. Saat itu Rusli memperkenalkan Kartini sebagai adiknya. Wajah Kartini yang mengingatkannya pada mantan kekasihnya dulu, seketika membuat ia jatuh cinta.

Rusli teman masa kecilnya ternyata sudah berubah. Ia mengagumi ajaran Karl Marx dan Friedrich Englels. Begitu juga Kartini, fashionable, berani mengutarakan pendapat, berpandangan modern, bahkan suka merokok.

Singkat cerita mereka bertiga akhirnya sering bertemu. Saat nongkrong bareng, Rusli dan Kartini sering bicara dengan mencampur kalimat bahasa Indonesia dan Belanda. Kalau jaman sekarang mungkin semacam bahasa anak Jaksel kali ya.

Novel dengan setting tahun 1941 ini merupakan masa dimana Marxisme dan Komunisme sedang hype dan berkembang di mana-mana untuk melawan Liberalisme yang diusung Amerika dan Eropa.

Tidak hanya mereka berdua, dari lingkungan pergaulan Hasan juga mengenal Anwar, seorang pemuda yang berpikiran kritis, anti feodalisme dan tipe pemberontak.

Hasan seorang pemuda yang tumbuh dalam lingkungan muslim yang taat, bahkan penganut ajaran tarekat, diam-diam bertekad untuk mengislamkan mereka, membawa mereka ke jalan yang lurus.

Memang lingkungan pertemanan itu bisa mempengaruhi pemikiran sih ya. Hasan yang fanatik namun kurang ilmu dan jarang membaca, faktanya lebih banyak diam dan menyimak, tidak mampu beragumentasi melawan pemikiran mereka.

Di setiap halaman saya membaca kegelisahan dan pertarungan ideologi antara theis vs atheis dalam hati Hasan. Bahkan saat shalat pun ia tidak mampu konsentrasi, pikirannya riuh berdebat.

Hasan yang tak punya kemandirian berpikir memadai disertai keimanan tanpa logika dan hanya berdasarkan fanatisme, lama-lama tergerus ketika dihadapkan dengan nilai-nilai yang berdasarkan logika dan pengetahuan. Lambat laun pemikiran Hasan menjadi lebih bebas dan modern yang membuatnya perlahan-lahan meninggalkan shalat.

Buku ini bisa menjadi bahan instropeksi bagi generasi muda yang banyak didogma untuk percaya dan tidak dididik untuk bertanya dan berpikir kritis sejak kecil.

Sejak awal cerita ini dibuka dengan kematian Hasan, namun sepanjang saya baca dibuat penasaran apa yang membuat ia mati dan hal terakhir apa yang dipikirkan Hasan sebelum mati. Endingnya wow banget. Semua akan terkuak, Hasan meninggal sebagai muslim atau atheis.

Tanpa ragu saya kasih bintang 5/5.

Persekongkolan Ahli Makrifat

Buku yang saya punya merupakan cetakan pertama tahun 2018. Namun ternyata kisah-kisahnya ditulis pada akhir jaman orde baru tahun 1994 sampai 1998. Hanya satu cerpen yang dibuat pada tahun 1965. Kebanyakan berisi tentang kehidupan di Indonesia lalu sebagian lainnya saat Kuntowijoyo masih tinggal di Belanda.

Kuntowijoyo menyebut tulisannya sebagai sastra profetik, yang artinya sastra yang berhadap-hadapan dengan realitas, melakukan penilaian dan kritik sosial budaya secara beradab. Makanya kadang saya bingung, yang diceritakannya ini fiksi atau fakta. Kalau fiksi kok sepertinya beneran, mau menilai fakta tapi kok rasanya seperti karangan. Jarang saya temukan cara bercerita seperti ini.

Jadi, markiview, mari kita review :

Hati yang Damai Kembalilah kepada Tuhan – 3/5
Kehebohan orang-orang kampung saat melihat bajingan tua sedang terkapar dan jatuh pingsan di halaman masjid.
“Kita keluarkan saja.”
“Tak usah. Biar dia di situ sampai mati.”
“Masjid ini jadi kotor.”

Kuda Itu Seperti Manusia Juga – 3/5
Sejak Pak Satari pensiun, ia membeli seekor kuda dan tergila-gila pada hewan kesayangannya itu. Ia juga tidak peduli dengan halaman yang kotor dengan tahi kuda dimana-mana. “Kuda tidak bisa berbuat jahat, tidak seperti manusia. Kuda dapat dipercaya, manusia tidak”

Ada Pencuri di Dalam Rumah – 5/5
Suatu malam kakek membangunkannya lalu berbisik, “Sudah waktunya kau belajar sesuatu tentang hidup. Ada pencuri di dalam rumah.”

Hampir Sebuah Subversi – 3/5
Sebenarnya ia suka ketempatan Pak De, tetapi istrinya sering mengecamnya sebagai pria lajang yang ceroboh. “Lihatlah kamarnya, seperti kandang kuda.”

Mata – 3/5
Pak Abbas menuduhnya telah mendatangkan penceramah yang ekstrem, dan akan melapor pada pejabat yang berwenang bahwa musholla telah kemasukan ide-ide yang berbahaya. “Apa guna mata, kalau sudah melihat.”

Da’i – 4/5
Baron penghuni baru perumahan dengan cepat melebur dengan sekitar. Kharismanya membuat anak-anak berandalan mau datang ke surau mendengarkan ceramahnya. Namun, lama-lama sebagian pemuda berandal tersebut menggunakan pakaian Arab, menunbuhkan jenggot dan sebentar-sebentar berdzikir.

Persekongkolan Ahli Makrifat – 2/5
Haji Rasid kabarnya masuk tarekat, dia selalu mengamalkan wirid, mungkin dari gurunya. Kadang dia juga mengasingkan diri untuk menyempurnakan agamanya. Setiap usahanya selalu berhasil, termasuk politik.

Bebek Berbulu Hitam, Bebek Berbulu Putih – 5/5
Pak Mustari merupakan pendatang baru di desa. Ia membawa serta bebek-bebeknya yang berjumlah 50 ekor. Ia menjual telur, mengajar ngaji, bahkan mengajari penjual bakmi meracik bumbu bakmi yang nikmat. Ia seperti malaikat yang hadir di desa.

Mata Anak Turki – 5/5
Saat ia menuju toko roti dilihatnya anak turki menangis di sudut jalan, tampaknya ia tersesat. Dalam kebingungannya untuk menghibur anak Turki tersebut, orang Maroko yang kebetulan lewat mendekat dan meredahkan tangisnya. Berdua mereka membantu si anak kembali ke perkampungan Turki.

Badhuis – 4/5
Saat ia dan keluarganya ke tempat pemandian di Badhuis, penjaga tua itu terkejut melihat istrinya sehingga uang receh ditangannya terjatuh. Wajah istrinya mengingatkan pada kisah asmara masa lalu saat tinggal di Jawa tahun 1925.

Hagi Musthapha – 2/5
Hagi Musthapha, guru ngaji anaknya di Pusat Kebudayaan Turki ternyata bukan orang sembarangan. Ia tokoh yang disegani di Turki, namun anehnya ia memilih tinggal di lingkungan yang terlalu sederhana di Belanda.

Jejak Nabi Nuh – 5/5
Ketika mengenal Marie van Straten, ia yakin bahwa Marie adalah anak kandung Pak Kadir. Bertahun-tahun yang lalu saat tinggal di New York istri pak Kadir kecantol bule lalu minta cerai, kemudian pindah ke Belanda membawa anak mereka satu-satunya. Pak Kadir segera diberi kabar gembira lewat surat, “Saya kira saya sudah ketemu. Tunggu saja dengan sabar.”

Orang Yang Mencintai Kuburan – 4/5
Sabirin, kerabat istrinya berkunjung ke rumah. Namun ia tidak mau menginap di rumah, maunya tidur di kuburan sekitar dekat rumah. “Wah, praktis, kita tidak perlu menyiapkan tempat tidur.”

Ada Api di Atas Atap – 4/5
Pak Achid pensiun dan pindah ke desa. Ia ingin istirahat total, namun ternyata penduduk desa membutuhkan ilmu dan tenaganya, sampai akhirnya ia lebih sibuk daripada sebelum pensiun. Masalahnya cuma satu, ia tidak bisa berkata tidak.

Rumah – 4/5
Ia merasa rumah barunya adalah rumah dengan lingkungan terbaik, sampai kemudian para tetangga menyebutnya pemberani. Ternyata rumahnya berhadapan dengan rumah kosong yang angker. Konon dulu penghuninya bunuh diri di rumah tersebut.

Abu Jenazah Menner van den Berg – 2/5
Saat Markaban mudik ke Indonesia, teman kerjanya menitipkan guci berisi abu jenazah ayahnya. Ayah Willem van den Berg pernah berpesan supaya abunya ditabur di Indonesia.